Rabu, 21 Maret 2012

Anti Monopoli dan Persaingan usaha tidak sehat

hukum akan tetapi juga sebagai penguasa ekonomi.
Di Amerika Serikat sebagai negara demokrasi dan kapitalis ternyata praktek monopoli juga ada. Bill Gate dengan bendera bisnis, Microsoft memonopoli pangsa pasar penjualan software atau perangkat lunak komputer yang menimbulkan protes keras dari saingan bisnisnya, karena berlawanan dengan sistem ekonomi kapitalis Amerika Serikat yang membuka kebebasan usaha sebesar-besarnya bagi para pengusaha.
Selama ini di dunia, dikenal tiga bentuk sistem ekonomi yang dipakai oleh setiap negara dalam kegiatan ekonomi nasionalnya. Pertama, sistem ekonomi kapitalis (capital economy system), yakni sumber daya ekonomi dialokasikan melalui mekanisme pasar. Kedua, ekonomi yang direncanakan secara terpusat (centrally planned economy) di mana sumber daya ekonomi dialokasikan oleh pemerintah yang berkuasa. Ketiga, sistem ekonomi campuran (mixed economy system) di mana sumber daya ekonomi dialokasikan, baik oleh pasar maupun pemerintah secara bersama-sama.

Praktek penguasaan bisnis berupa monopoli (monopoly) dan persaingan usaha tidak sehat (unfair competition) yang sangat menonjol biasanya terdapat dalam sistem ekonomi kapitalis dibandingkan pada sistem ekonomi yang direncanakan secara terpusat dan sistem ekonomi campuran. Sebab pada kedua sistem ekonomi terakhir ini, kontrol pemerintah terhadap kegiatan ekonomi relatif kuat dalam perdagangan dengan adanya regulasi dan kebijaksanaan ekonomi pemerintah yang cukup ketat. Sebaliknya, sistem ekonomi kapitalis dalam masyarakat liberal biasanya kontrol pihak pemerintah terhadap kegiatan ekonomi relatif lebih longgar, karena adanya mekanisme pasar yang memberi kebebasan seluasnya kepada produsen dan konsumen untuk menentukan harga.
Monopoli yang tidak terkontrol dalam sistem ekonomi ini melahirkan monopoli pasar melalui cara praktik kartel, diskriminasi harga, pembagian pasar dan sebagainya.

Bahaya monopoli masyarakat Barat diungkapkan, “that the monopolist stops expanding output at the point where his marginal revenue and marginal cost cuves intersect”.
Monopoli ekonomi demikian tidak sehat, karena dapat mengurangi persaingan dalam kegiatan industri dan menghambat para pelaku ekonomi lainnya untuk memasuki bidang usaha tersebut. Merugikan kegiatan ekonomi atau bisnis adalah tiada persaingan usaha memungkinkan suatu perusahaan menaikkan harga semaunya di atas tingkat harga wajar, karena tidak ada produk alternatif untuk dipilih konsumen. Selain itu tidak mendorong perusahaan mencari penemuan baru, mengurangi atau menetapkan ongkos produksi yang rendah untuk barang/jasa atau memperbaiki teknologi produksi dalam persaingan dengan produk negara lain di pasar internasional dengan berlaku era globalisasi yang melibatkan “recognizing the particular genius of employee” perusahaan beroperasi di dunia tanpa melihat siapa orang atau kewarganegaraan. Keunggulan produk barang/jasa perusahaan menentukan dalam persaingan usaha antar negara dalam globalisasi ekonomi.

Penghargaan didasarkan atas karya atau produk yang hebat serta usaha untuk menciptakan kemajuan perusahaan tanpa batas dalam menghadapi persaingan bisnis.

Anthony Giddens menamakan era globalisasi ini sebagai runaway world atau dunia yang tidak terkendalikan akibat dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Keadaan ini diramalkan semakin tidak terkendali dalam kegiatan ekonomi, terutama saat berlakunya Asean Free Trade Agreement (AFTA) tahun 2003, Asia Pacific Economic Co-operation (APEC) tahun 2010 dan World Free Trade tahun 2020 apabila praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat pemerintah tidak mengaturnya dengan baik.

Persaingan pasar berjalan dengan baik apabila tidak ada tindakan diskriminatif atau restriktif oleh suatu negara terhadap produk negara lain. Tindakan diskriminatif dan restriktif dapat menimbulkan distorsi pasar bagi produsen negara-negara maju di pasar negara berkembang. Kebijakan ekonomi negara-negara berkembang dan miskin tentu ingin menyelamatkan produk dalam negeri yang berlawanan dengan perdagangan bebas, karena pengusha negara berkembang belum siap menghadapi persaingan pasar bebas dengan meningkatnya serbuan produk barang/jasa dari negara-negara maju.

Selama ini dalam sistem ekonomi kapitalis terdapat beberapa bentuk perbuatan monopoli yang dilarang undang-undang anti monopoli.

Pertama, horizontal merger. Tindakan ini dilakukan antara dua perusahaan besar dengan merger (penggabungan usaha) untuk menguasai pasar. Semula kedua perusahaan besar bersaing merebut pasar. Hasil merger menghapuskan persaingan.

Kedua, joint monopolization. Monopoli ini tidak dilakukan oleh satu perusahaan. Dua atau lebih perusahaan dapat bekerja sama dengan kekuatan mampu menciptakan monopoli. Misalnya tiga perusahaan sendiri-sendiri tidak mampu melakukan monopoli. Merger ketiga perusahaan menimbulkan praktik monopoli dalam kegiatan bisnis.

Ketiga, predatory. Tindakan dalam kegiatan bisnis yang membuat pelaku ekonomi baru tidak dapat memasuki pasar dengan bebas atau menimbulkan kerugian kepadanya, sehingga ia tidak dapat bersaing dengan baik.

Keempat, price discrimination (diskriminasi harga). Pelaku monopoli memiliki kekuasaan dengan intensif untuk melakukan diskriminasi harga. Melalui berbagai cara, pelaku monopoli bisa memisah-misahkan pembeli dalam kelas yang belainan dan menetapkan harga dengan ongkos yang lebih besar kepada pihak yang satu daripada pihak yang lain. Para pelaku monopoli dapat melakukannya secara terbuka, misalnya dengan menawarkan harga yang relatif lebih rendah kepada anak-anak muda, pensiunan, mahasiswa, pegawai pemerintah atau menjual produk yang sama dengan merek berlainan atau model biasa dan model luks. Diskriminasi harga dapat dilakukan secara rahasia dengan menawarkan diskon lebih besar dari ongkos atau harga jual dapat dihemat para pembeli besar sebagai hasil dari jumlah penjualan. Diskriminasi harga itu bertujuan untuk memaksimalkan atas benefits (keuntungan) pengusaha atau mematikan produsen lain yang
potensial menyaingi kegiatan usahanya.

Di Amerika Serikat, misalnya Undang-undang Anti Monopoli telah ada pada tahun 1890 dengan lahirnya The Sherman Antitrust Act. Undang-undang ini melarang setiap bentuk praktek monopoli atas suatu produk atau pemasaran barang dan atau jasa yang menghambat perdagangan (barrier trade) dalam kegiatan bisnis dan melindungi usaha kecil yang lemah.

Isi penting dari larangan monopoli The Sherman Act antara lain memuat masalah monopoli sebagai berikut :
Section 1 : ”Every contract, combination in the form of trust or otherwise, or conspiracy, in restraint of trade or commerce among the several states, or with foreign nations, is declared to be illegal …”.
Section 2 : “Every person who shall monopolize, or attempt to monopolize, or combine or conspire with any other person or persons, to monopolize any part of the trade or commerce among the several states, or with foreign nations, shall be deemed guilty of a felony …”.

Larangan praktek monopoli dalam The Sherman Act ditekankan pada penguasaan produksi dan pemasaran atas barang/jasa satu pelaku atau kelompok pelaku usaha dengan unsur larangan monopoli ini, yakni ”possesion of monopoly power in relevant market; willfull acquisition or maintenance of that power”. Artinya, kekuasaan atas monopoli merupakan hal yang penting dalam pemasaran, karena keinginan pengambilalihan atau menjaga agar kekuasaan tersebut tetap ada agar tidak ada persaingan pihak lain.

Untuk memperoleh kekuatan pasar, maka pengusaha kuat melakukan tindakan dengan menciptakan hambatan dalam perdagangan, menaikkan harga dan membatasi produk barang/jasa guna mendorong terjadi inefisiensi sehingga tindakan demikian dalam persaingan usaha yang sehat perlu dilakukan delegalisasi. Tiada persaingan perusahaan dari lain merupakan keinginan atau tujuan utama pengusaha memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Keadaan ini menyebabkan konsumen dianggap sebagai “sapi perahan” dan bukan “raja” dalam kegiatan ekonomi. Artinya, hak konsumen untuk memperoleh harga wajar dan barang atau jasa yang baik diabaikan pengusaha yang ingin mengeruk keuntungan bisnis dalam waktu singkat. Tidak jarang pengusaha mempengaruhi tingkat penawaran meraih keuntungan berlipat ganda tanpa mempedulikan tingkat kemampuan ekonomi dari konsumen yang lemah untuk memperoleh barang/jasa. Sikap monopoli para pengusaha ini didasarkan pada akses kondisi dari competititve viability.

Di dalam perkembangan dunia usaha di Amerika Serikat selanjutnya, maka para pengusaha mempunyai berbagai cara untuk menghindarkan dikenakan The Sherman Act dalam kegiatan usaha untuk memonopoli pasar. Ulah pemilik usaha ini ternyata sangat merugikan kepentingan masyarakat.
Kemudian The Clayton Act lahir tahun 1914 sebagai penyempurnaan The Sherman Act mengatasi usaha mengarah kepada praktek monopoli.

The Clayton Act memuat empat praktek illegal namun bukan dianggap melanggar hukum, yakni
(1) price discrimination atau larangan diskriminasi harga,
(2) tying and exclusive dealing contracts atau penjualan barang membuat pihak pembeli tidak dapat saling berhubungan dengan perusahaan yang lain,
(3) corporate mergers atau penggabungan perusahaan yang dapat menimbulkan monopoli, dan
(4) interlocking directorates atau menduduki jabatan dari dua perusahaan yang bersaing.

Pada tahun yang sama,
Kongres Amerika Serikat menerbitkan The Federal Trade Commision Act (FTC) untuk melakukan investigasi, dengar pendapat atau menangani kasus-kasus pelanggaran hukum antimonopoli (antitrustlaws).

Pasal 5 FTC diamandemen tahun 1938 menegaskan, “Unfair methods of competition in or affecting commerce, and unfair or deceptive acts or practices in commerce, are hereby declared unlawful” atau diterjemahkan adalah cara-cara persaingan yang tidak terbuka atau berpengaruh terhadap perdagangan dan perbuatan atau praktek-praktek tidak jujur dan penuh tipu muslihat dalam perdagangan adalah perbuatan-perbuatan bertentangan dengan hukum.

Praktek monopoli dalam kegiatan bisnis sebenarnya tidak dilarang selama posisi pasar yang bersifat monopolistik dalam suatu mekanisme pasar yang sehat diperoleh dan dipertahankan melalui kemampuan, prediksi atau kejelian bisnis yang tinggi serta tidak merugikan pihak-pihak lain sebagai sesama pelaku ekonomi.
Suatu perusahaan yang mampu melakukan inovasi dengan adanya penemuan baru, maka perusahaan tersebut mempunyai posisi dominan atau monopoli atas produk barang tersebut. Monopoli atas penemuan baru itu diperoleh suatu korporasi (perusahaan) berdasarkan pada ketentuan hukum yang mengatur tentang hak atas kekayaan intelektual (HKI).
Adanya “payung hukum” demikian, monopoli mempunyai “kekuatan hukum” asalkan dalam batas-batas tertentu yang tidak merugikan bagi kepentingan pihak lain dalam kegiatan bisnis.
Demikian juga kalau terjadi suatu perusahaan yang tumbuh secara cepat dengan menawarkan kombinasi antara kualitas barang dan jasa dengan harga yang diinginkan oleh konsumen, pangsa pasarnya tumbuh dengan cepat, kemudian dapat dikatakan perusahaan tersebut telah meningkatkan kesejahteraan ekonomi, baik di pihak produsen maupun pihak konsumen. Tindakan monopoli dalam batas-batas tertentu ini masih dapat ditolerir dalam aturan hukum, terutama karena dianggap tidak merugikan kepentingan konsumen untuk memperoleh barang/jasa.

Praktik monopoli yang dilarang oleh undang-undang anti monopoli adalah monopoli yang menyebabkan terjadinya penentuan pasar, pembagian pasar dan konsentrasi pasar.

Sistem ekonomi pasar adalah cara terbaik guna menghindarkan praktek monopoli, karena dalam pasar itulah terjadi persaingan sehat di antara para pelaku usaha sehingga keluar sebagai “pemenang” adalah pihak yang benar-benar terbaik, paling kuat dan paling sehat (survival of the fittest).
Pasar bebas dianggap paling mendekati keadaan atau sifat alam yang bebas dan sehat dalam persaingan usaha sehingga gangguan dalam bentuk campur tangan dari pemerintah menghambat seleksi alamiah yang sehat.

Pada era globalisasi ekonomi, keberadaan perdagangan dan pasar bebas ini tidak dapat dihindarkan dalam persaingan usaha. Kesiapan pengusaha menyambut pasar bebas diperlukan agar produk pengusaha nasional tidak kalah bersaing merebut konsumen dari negara industri lain karena mengutamakan keunggulan kualitas produk barang/jasa yang dimiliki untuk bersaing dengan suasana pasar yang betul-betul sehat.
Pasar bebas adalah suatu mekanisme dalam kegiatan ekonomi yang terinci dan terkoordinasi di bawah sadar manusia dan sektor usaha melalui sistem harga dan pasar. Mekanisme ini merupakan alat komunikasi untuk menghimpun pengetahuan dan tindakan jutaan orang yang berlainan kepentingan dan tersebar di mana-mana dalam memilih suatu produk barang dan atau jasa yang diinginkannya. Tidak ada seorang pun dengan sengaja dapat merancang pasar, namun pasar tetap dapat berfungsi dengan baik sesuai dengan mekanisme yang ada. Pasar adalah suatu mekanisme pada saat pembeli dan penjual suatu komoditi mengadakan interaksi untuk menentukan harga, kualitas dan kuantitas produk, sehingga harga disepakati bersama merupakan poros penyeimbang dalam mekanisme pasar yang terkendali.
Pasar demikian merupakan pasar yang dapat dioperasionalkan dengan efisien sepanjang pelaku usaha melakukannya dalam ”market in ideas”.

Pada era globalisasi ini, selera konsumen dapat berubah atau diubah dengan cepat. Umumnya “daur hidup” suatu produk barang makin lama makin pendek, karena adanya penemuan baru. Hal ini berarti dalam pasar bebas, persaingan antar perusahaan semakin tajam dan dalam prosesnya menuntut pula sistem pemasaran yang cepat dan murah atau mempengaruhi selera serta keinginan konsumen dengan tepat. Menghadapi persaingan semakin tajam, dorongan untuk memanipulasi informasi bagi konsumen oleh produsen di tanah air akan semakin besar pula dengan munculnya praktek monopoli dan oligopoli. Tuntutan peningkatan etika bisnis yang baik semakin keras. Masyarakat mengharapkan pelaku usaha bersaing sehat dengan melindungi kepentingan konsumen. Bobot reputasi usaha semakin besar dalam persaingan bisnis, apabila mampu mempertahankan dan mengembangkan produk barang/jasa berkualitas tinggi.

Penerapan UU No. 5 Tahun 1999 menimbulkan persoalan pelaku usaha yakni dihadapkan undang-undang itu pada struktur dunia bisnis dibangun rejim Orde Baru, yang toleran bahkan pragmatis ditetapkan dalam kebijakan ekonomi pemerintah dalam bentuk monopoli dan oligopoli. Saat itu dunia bisnis Indonesia hanya berfungsi sebagai simpul pertemuan pelaku usaha sebagai pemburu rente (rente seeker) dan pejabat korup untuk bertujuan membangun kekuasaan. Situasi demikian berimplikasi ekonomi-politik dengan ketergantungan dunia usaha terhadap pemerintah berkuasa.
Kebijakan Pemerintah melalui Garis-garis Besar Haluan Negara bidang ekonomi waktu itu menetapkan bahwa jangka panjang dunia usaha memainkan peran sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Wajar diberikan fasilitas dan konsesi bagi pengusaha besar atau konglomerat yang berani berinvestasi berupa proteksi dan hak monopoli.

Pada perspektif industrialisasi nasional semua hal itu memperoleh pembenaran. Setiap negara yang baru muncul dalam membangun industri (infant industry) memilih untuk memproduksi barang pengganti impor dan membutuhkan proteksi pasar nasional. Industri pemula, tingkat efisiensi dan produktivitas masih rendah sehingga harga produksi cenderung mahal dan mutunya di bawah standar. Para pengusaha nasional saat itu belum mampu menciptakan dan merebut pasar (customize market), baik di dalam maupun luar negeri sehingga produk pengusaha perlu diproteksi dengan memberi kemudahan usaha. Pada jangka panjang, kebijakan ini dimaksudkan untuk mendidik dunia usaha mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri dan meningkatkan devisa ekspor dari barang/jasa dihasilkan dengan kekuatan sendiri dalam kegiatan ekonomi.
Perkembangan selanjutnya, kebijakan ini menjadi salah arah. Proteksi masih tetap diberikan pada saat dunia usaha harus menghadapi persaingan global yang semakin ketat.
Kesadaran baru muncul ketika budaya bisnis protektif, monopolistik dan oligopolistik menyebabkan terjadi krisis ekonomi tahun 1997 dan semua ini berjalan lama dan secara struktural menjadi pola dunia usaha dari Orde Baru. Dampak dari pola demikian telah melahirkan pola konglomerasi secara eksesif merusak tatanan ekonomi dan menghambat tercipta demokrasi ekonomi dalam Pasal 33 UUD 1945. Tindakan itu dilakukan dengan tidak memberikan peluang sama bagi pengusaha terutama pengusaha ekonomi lemah. Kondisi pasar yang diciptakan Orde Baru bukan pada iklim usaha yang sehat, efektif dan efisien akan tetapi justru mendorong terjadi praktik monopoli dan oligopoli.
Kondisi pasar monopoli dan tidak sehat ini merugikan dalam persaingan bisnis.

Ada tiga ekses akibat pasar monopoli-oligopoli :

Pertama, praktek bisnis monopolistik-oligopolistik adalah tidak adil dan tidak seimbang dalam mendistribusikan kekayaan ekonomi melalui beban rakyat dan keuntungan transaksi ekonomi diperoleh pelaku usaha.

Kedua, praktek bisnis monopolistik dan oligopolistik menciptakan inefisiensi ekonomi.

Ketiga, akibat ekonomi dan bisnis dikelola tidak rasional dan tidak transparan.
Keputusan politik dalam kegiatan bisnis diarahkan pada keuntungan segelintir pengusaha yang dekat dengan penguasa.

Muara dari ketiga persoalan di atas adalah terciptanya pasar domestik yang distortif atau terganggu. Keadaan distorsi ini terjadi, baik secara sektoral, regional maupun internasional yang sangat berpengaruh pada harga dan persaingan usaha yang sehat. Akibat distorsi ini adalah sukar terdeteksi kemampuan pasar dan pelaku usaha yang sebenarnya bersaing secara fair dalam kegiatan bisnis yang keras. Selain itu, sentimen pasar menjadi kabur dan irasional sehingga tidak terkendali secara wajar yang merugikan konsumen. Pasar menurut doktrinnya untuk mengejawantahkan ordo atau tatanan ekonomi yang harmonis berubah menjadi chaos and unpredicted.

Perubahan mendasar, perlu dilakukan guna memperbaiki sistem pasar yang baik. Memperbaiki struktur pasar bukan pekerjaan yang mudah akan tetapi bukan pula sulit jika ada kesamaan persepsi dalam rangka penerapan UU No. 5 Tahun 1999 pada tiga hal.

Pertama, UU ini secara subtansif memberi kepastian hukum bahwa iklim kebebasan berusaha memuat semangat ekonomi pasar bebas dan terbuka, hak dan kepentingan semua pihak tidak dilanggar secara unfair.

Kedua, UU ini dapat melindungi dan menjaga persaingan yang sehat di antara berbagai kekuatan ekonomi di pasar. Perlindungan dan jaminan terutama melalui “aturan main” yang transparan dan positif.

Ketiga, UU ini harus secara tegas memberikan kesempatan pelaku ekonomi lemah dapat berkembang bebas mel
akukan transformasi skala usaha ke arah yang lebih luas. Kesempatan ini seyogianya dapat dimanfaatkan oleh setiap usaha mikro, kecil dan menengah.

Sejauhmana masyarakat bisnis memperoleh persepsi yang sama pada substansi UU No. 5 Tahun 1999. Artinya, undang-undang itu harus dapat menghilangkan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat merugikan kegiatan bisnis mengingat adanya sanksi pelanggaran usaha berupa sanksi administratif, sanksi pidana dan pidana tambahan.

Sosialisasi UU No. 5 Tahun 1999 secara intensif dilakukan tidak hanya pada lapisan masyarakat produsen (pengusaha) akan tetapi juga pada kalangan masyarakat konsumen menghindarkan terjadi peningkatan pelanggaran usaha. Pihak konsumen harus dilindungi dari produk barang/jasa para produsen yang tidak berkualitas dan merugikan masyarakat. Perlindungan usaha lemah dan konsumen diutamakan untuk menciptakan harmonisasi usaha yang sehat pada kegiatan bisnis. Implementasi undang-undang ini harus dapat pula memperbaiki kondisi pasar yang sehat dan adil bagi kegiatan bisnis di Indonesia

http://my.opera.com/asamiaurora/blog/2011/05/13/anti-monopoli-dan-persaingan-usaha-tidak-sehat-2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar